Arsip Blog

Senin, 24 Maret 2014

Jean Piaget (1896-1980)

Jean Piaget dilahirkan pada 9 Agustus 1896 di Neuchatel, Swiss. Ia meraih gelar Ph.D. dalam bidang biologi dari universitas lokal pada 1918, dan bersamaan dengan itu, ia juga menerbitkan novel intelektual, Recherche. Teks yang berpengaruh ini menunjukkan program penelitian Piaget. Dalam tulisan itu, ia menyatakan bahwa sains bersifat faktual dan agama bersifat sarat nilai Penjelasan realitas dari sains dan agama sering bertentangan. Lantas bagaimana sains dan agama bisa disatukan? Dan

permasalahan ini pun sudah menjadi umum. Tindakan manusia bersifat kausal dan normatif. Kemudian, bagaimana pengetahuan sejati berkembang? Inilah pertanyaan mendasar dalam epistemologi dengan implikasi-implikasinya bagi pendidikan. Pertanyaan inilah yang hendak dijawab dalam 50 buku dan 500 artikel yang diterbitkan oleh Piaget dan sekarang diakui sebagai sumbangan utama bagi pengetahuan manusia. Piaget memperoleh jabatan pertamanya di Neuchatel pada 1925, lalu pindah untuk menetap di Geneva University dari 1929 sampai seterusnya. Ia ditunjuk menjadi Direktur International Bureau of Education pada tahun yang sama dan kemudian sebagai Direktur International Center for Genetic Epistemology pada 1955. Ia meraih gelar kehormatan pertama dari Harvard University pada 1963 diikuti lebih dari empat puluh gelar kehormatan termasuk Erasmus Prize pada 1972. Piaget tetap berkarya setelah pensiun pada 1971 dengan menulis 11 buku tentang epistemologi konstruktivis. Ia meninggal dunia pada 16 September 1980 di Jenewa dengan karya anumerta dan terjemahan yang terus bermunculan. Penjelasan Piaget tentang pendidikan tergantung pada epistemologinya. Kaitan antara keduanya adakah pengetahuan dan perkembangan sebagai fakta-fakta normatif.

 

Epistemologi

Epistemologi sejak lama sudah menjadi disiplin normatif. Ketika Kant bertanya “Bagaimana pengetahuan mungkin didapat?” ia ingin mengidentifikasi batas-batas rasionalitas manusia dalam membedakan sains dengan takhayul. Pertanyaannya bersifat normatif karena pengetahuan ditentukan melalui norma. Norma adalah nilai yang menentukan kriteria (syarat) apa yang termasuk pengetahuan dan apa yang tidak termasuk pengetahuan. Salah satu kriteria pengetahuan adalah kebenaran (objektif) dari apa yang diketahui. Kriteria ini mengabaikan pengetahuan tentang kebohongan (knowledge of a falsehood), walaupun kebohongan tersebut dapat dipercaya. Piaget berpendapat bahwa persoalan epistemologis memiliki dimensi empiris juga, contohnya, “Bagaimana pengetahuan berkembang?” Pertanyaan ini bersifat empiris. Salah satu cara mendapatkan bukti adalah melalui kajian terhadap pertumbuhan pengetahuan selama masa anak-anak. Permasalahannya bukanlah knoweer (anak, yang ingin mengetahui) berkembang dalam pelbagai konteks kebudayaan, tapi pada penggunaan norma dalam pertumbuhan pengetahuan. Pengetahuan tidak muncul “sudah jadi” (ready-made) dalam pikiran anak. Norma bukanlah bawaan sejak lahir. Kendati beberapa norma bersifat kultural, norma intelektual—seperti pengetahuan yang menuntut kebenaran dari apa yang diketahui—tidak bersifat kultural. Kepercayaan kultural bisa salah (matahari terbit setiap pagi, perempuan tidak memiliki rasionalitas, dan seterusnya). Meskipun demikian, norma-norma digunakan, norma yang lebih baik dikontruksi dalam penggunaannya, dan pengetahuan sejati berkembang. Inilah “mukjizat” kreativitas manusia. Yang baru adalah fakta kehidupan yang terus menolak penjeksan. Inilah permasalahan mendasar yang dibahas dalam epistemologi Piaget. Karena pengetahuan berkembang mengikuti penggunaan norma, pengetahuan tersebut merupakan fakta normatif. Dengan demikian, fakta-fakta normatif dapat diselidiki secara empiris sebagai tindakan penilaian (ad of judgment). Tindakan tersebut muncul karena penyebab-penyebab psikososial, sementara penilaian muncul dari implikasi bermakna yang bersifat normatif, bukan kausal.Walaupun 2 secara kausal tidak menjadi 4, namun menunjukkan bahwa 2 + 2 = 4.


Ada sebuah contoh di sini. Dalam salah satu penekoan Piaget tentang penakran dengan induksi matematika, anak-anak berusia 7 tahun diminta menambah-angka besarar pada sepasang angka yang tidak sama. Berikut ini cuplikan penalaran John:






















PENANYABagaimana jika kamu menambahkan satu angka besar ke angka ini dan satu angka besar ke angka lain. Apakah keduanya akan sama, atau angka ini lebih besar, atau angka lain lebih besar?
JOHNAkan tetap benar walaupun di bawah atau di langit dan akan tetap benar apapun kehendak Tuhan Jadi kedua angka itu akan lebih besar.
PENANYAApa maksudnya langit?
JOHNBerada di atas tempat tinggal Tuhan.

Penalaran yang bagus dengan analogi ini menjadi contoh norma-norma intelektual (suatu bentuk hapalan AEIOU): otonomi (autonomy), kebutuhan (entailment, pengetahuan yang diperlukan), intersubjektivitas (intersubjectivity), objektivitas (objectivity), universitalitas (universality). penalaran bersifat autonom, yaitu pemikirannya sendiri. Penalaran meliputi kebutuhan, yakni hubungan yang diperlukan tentang “apa yang seharusnya”. Penalaran bersifat intersubjektif dan sejalan dengan aksioma Euclidean yang sama ditambahkan pada yang tidak sama yang merupakan paradigma “dasar bersama” bagi pelbagai pemikir. Penalaran bersifat objektif karena dijastifikasi sebagai jawaban yang benar dalam argumen valid (yang mempertahankan kebenaran). Penalaran memiliki derajat (tingkata) universalitas, baik yang terbuka ataupun tidak, yang diubah dalam pelbagai kondisi-kondisi kausal. Tiap norma tersebut dagunakan oleh Jean dalam pengembangan pengetahuannya. Penggunaan norma intelektual seperti itu merupakan inti dari epistemologi.


Pergeseran epistemologis sangat penting dalam tiga hal. Pertama, tindakan adalah dasar pengetahuan, di mana tindakan mencakup tindakan fisik ataupun tindakan sosial serta kegiatan intelektual. Lebih lanjut, terdapat logika tindakan yang diuraikan Piaget dalam model-model (struktur-struktur) formal. “Logika tindakan” tidak sama dengan “logika mental”. Metakognisi dalam pengertkn ini berada dalam struktur-struktur itu dan mengontrol tindakan, sekalipun knowerudak sadar atas pengaturan tindakan ini. Kontrol ini mencakup unsur normatif berdasarkan fungsi gandanya, sebagai piranti intelektual penghasil kebenaran dan menciptakanpiranti-pirantiyang lebih baik. Kedua, epistemologi yang memadai harus mengidentifikasi mekanisme yang melahirkan pengetahuan baru, yakni perkembangan. Menurut Piaget, mekanisme ini adalah ekuilibrasi (equilibration). Hubungannya dengan pengajaran akan diterangkan nanti. Ketiga, perkembangan pengetahuan memerlukan waktu dan dikonstruksi pada pelbagai macam tingkatan. Sekian abad telah memisahkan Newton dan Einstein, namun teori-teori mereka sekarang ini diajarkan di sekolah—kasus yang jeks untuk percepatan! Inilah pendidikan.


 

 

Pendidikan

Pendidikan didefinisikan Piaget sebagai penghubung dua sisi, “di satu sisi, individu yang sedang tumbuh (dan) di sisi lain, nilai sosial, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut”.9 Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang. Perkembangan ini bersifat kausal bagi penyelidikan psikososial. Namun, terdapat komponen normatif juga karena pendidik menuntut nilai. Nilai adalah norma yang berfungsi sebagai petunjuk dalam mengidentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Pendidikan adalah hubungan normatif antara individu dan nilai Menurut pandangan ini, pendidikan meliputi semua nilai, dan definisi Pkget memang tidak mengistimewakan satu nilai di atas nilai lain. Keputusan diserahkan kepada pendidik yang menghadapi permasalahan. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai intelektual selama belajar di sekolah sama maknanya dengan nilai moral selama hidup. Guru dalam satu generasi menggunakan nilai (intelektual, moral) mereka dalam pendidikan untuk generasi selanjutnya. Dengan demikian, mereka langsung mengarah ke permasalahan mendasar. Mengajar dan belajar adalah tindakan yang bersifat normatif—bukan hanya ber¬sifat kausal. Bahwa pendidikan adalah pertukaran sarat nilai yang keberhasilannya tergantung pada transmisi dan transformasi.


Untuk mengetahui apa yang dimaksud, bayangkan sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya berusia sama. Misalnya, setiap orang dalam masyarakat ini adalah anak berusia 7 tahun. Masyarakat ini tidak memiliki kebudayaan tradisional ataupun warisan turun-temurun dari masa lalu, dan tidak ada anggota masyarakat yang lebih tua atau lebih muda. Akan seperti apa perkembangan intelektual dalam masyarakat tersebut? Dalam eksperimen pemikiran ini, Piaget menjelaskan bahwa anggota-anggota masyarakat tersebut memiliki kelemahan besar. Tanpa pengetahuan yang cliwariskan, perkembangan akan sangat sulit berlangsung, tetapi tidak mustahil. Anggota-anggota masyarakat ini mempunyai pikiran aktif. Dengan demikian transformasi tidak mustahil. Dalam pendidikan, pembedaan tersebut sangat penting. Masyarakat yang secara kausal tidak khas ini memunculkan permasalahan yang secara normatif khas.


Pengetahuan yang ada telah dikonstruksi dan sering dikodifikasi dalam sistem yang dijalankan oleh aturan melalui bahasa. Aturan, nilai, dan tanda merupakan aspek-aspek mendasar dari. masyarakat manusia. Sistem-sistem ini digunakan oleh guru yang memperkenalkannya sebagai pengetahuan baru kepada para siswa. Pengajaran ini menciptakan masalah “horison intensionalitas”.11 Bagaimana guru (orang tua, sebaya) dan siswa mendapatkan peluang memasuki “horison” yang sama? Dan bagaimana peluang itu diperluas? Intinya adalah bahwa belajar merupakan tindakan untuk memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, proses belajar juga meliputi norma. Terdapat tiga kemungkinan di sini, yaitu (1) norma pengetahuan-yang-diajarkan dan norma pengetahuan-yang-digunakan-dalam-belajar adalah sama, (2) norma kedua mendahului norma pertama, atau (3) norma pertama mendahului norma kedua. Proses belajar sederhana melalui transmisi sesuai dengan (1) dan (2). Proses belajar yang kompleks lewat tranformasi disyaratkan oleh (3). Menurut Piaget, mediasi yang didasarkan pada norma selalu dibutuhkan dalam proses belajar. Pengetahuan ditransmisi-kan oleh guru yang menjadi mediator dengan mengurangi hambatan dan menambah kesempatan dalam (1) dan (2). Namun, mediasi berlangsung dengan cara berbeda dan lebih kuat seperti proses belajar yang kompleks, bila norma-norma yang lebih baik memeriukan konstruksi, seperti dalam (3). Mediasi ini membutuhkan transformasi.


Tiga masalah pembelajaran ini berhubungan dengan diagnosis, proses, dan hasil. Penilaian diagnostdk dibutuhkan dalam meng¬identifikasi tingkatan pengetahuan, baik dalam pengajaran maupun dalam proses belajar sebagai suatu pemeriksaan atas kesesuaian (ketidaksesuaian). Piaget merekomendasikan bahwa guru harus memiliki kemampuan investigasi dalam melakukan penilaian ini.’3 Namun, kegiatannya tadi tidak meluas ke penilaian kelas yang diakui memang tugas sulit. Kedua, proses belajar di kelas berlangsung dalam pelbagai cara, termasuk belajar bersama (group learning), dan “belajar sendiri” (learning by oneself). Piaget begitu lugas dalam merekomendasikan belajar bersama sebagai cara standar untuk proses belajar di kelas. Namun ada syaratnya. Belajar sendiri tetap diperlukan. Kontradiksi ini sangat jelas karena merupakan klaim normatif, bukan kausal. Klaimnya bukan belajar harus dilakukan sendiri, tapi harus bersifat otonom. Otonomi bukanlah anarki, sehingga siswa melakukan apa yang diinginkannya, bukan siswa ingin melakukan apa yang harus dilakukannya. Perbedaan yang hampir tak terlihat ini melahirkan motivasi belajar. Perbedaan ini mengabaikan heteronomi. Belajar bersama dapat “membutakan”anggotanya untuk menerima pandangan (kelompok) tanpa meng-hargai pandangan individu. Kondisi ini juga tampak sebagai konformitas tanpa pertimbangan (unthinking conformity) atau penerimaan tak kritis terhadap otoritas intelektual. Otonomi memedukan individualisasi pengetahuan yang mungkin terjadi dalam proses belajar bersama. Ketiga, hasil dari proses belajar sangat penting. Jika tingkat baru terlalu tinggi, maka proses belajar berlangsung dalam bentukpengulangan (repetisi) dan penyesuaian (konformitas).


Bukan dengan mengenal teorema Phytagorean, seorang siswa dikatakan telah menggunakan pemikirannya secara bebas. Yang lebih penting adalah bila siswa telah menemukan kembali (to rediscover) teorema tersebut dan bagaimana cara membuktikannya. Tujuan pendidikan intelektual bukanlah mengetahui bagaimana cara mengulang atau mempertahankan kebenaran yang “sudah jadi” (kebenaran yang ditiru hanyalah setengah kebenaran). Proses belajar untuk mendapatkan kebenaran seorang diri berisiko kehi-langan banyak waktu dan akan terjebak dalam kebingungan yang inheren dalam aktivitas nyata.
Pengenalan teorema ini pada akhirnya dapat dinilai sebagai prestasi yang sesuai dengan standar sekolah. Prestasi ini pun dapat dicapai tanpa memerhatikan kemajuan nyata dalam proses belajar di masa depan. Akan tetapi pengetahuan tetap berkembang, dan pengetahuan baru memiliki sebuah formasi di mana prestasi saat ini menjadi kontribusi. Jawaban benar tanpa alasan berdasarkan penalaran yang baik menjadi mandul dalam formasi intelektual.
Pengajaran tidak diragukan lagi memang diperlukan. Eksperimen pemikiran memang menunjukkan hal itu, tetapi tidak cukup bagi proses belajar yang baik. Guru-guru Einstein tidak mengajarkan e = mc2 kepadanya. Kebaruan (novelty) dapat mengakibatkan penyusunan ulang pengetahuan yang ada melalui revolusi sesungguhnya melampaui apa yang diajarkan. Lebih lanjut, pengajaran yang baik dapat menghasilkan proses belajar yang buruk.
Siswa yang berhasil diajar berhitung sering tidak berhasil dalam penalaran angka. Mengajar anak untuk menghitung “berapa banyak” (how many) tidak cukup untuk menalar “sama banyak” (as many). Pembedaan normatif ini dikembalikan pada teori Frege yang menyebutkan bahwa jika kesamaan (equality, “sama banyak”) dihilangkan dari aritmatika, maka hampir tidak ada lagi yang tersisa— dan berarti tidak ada lagi yang dapat dihitung (“berapa banyak”). Piaget sudah mengenal dengan baik karya Frege keuka masih menjadi mahasiswa di Neuchatel. Ia menyadari bahwa jika mengajar diperlukan namun tidak cukup, maka dibutuhkan sesuatu yang lain.
Inilah ekuilibrasi atau proses belajar yang kompleks.20 Uraian Piaget tentang ekuilibrasi memang tidak lengkap. Akan tetapi uraiannya mempunyai dua prinsip penting bagi pendidikan. Pertama, bahwa kreativitas itu penting—konstruksi baru oleh subjek genius atau rekonstruksi oleh subjek nongenius—sebab setiap pikiran manusia yang bekerja berpotensi untuk maja Menurut Piaget, “Tiap individu dibimbing untuk berpikit dan memikirkan kembali sistem konsep-konsep kolektif.” Warisan kultural berupa kearifan kolektif adalah titdk awal yang bermanfaat. Namun, terdapat titik akhir yang harus dipertimbangkan juga. Pikiran yang hidup (livingmind) adalah pikiran yang bekerja dengan kapasitas untuk membuat penilaian lebih baik. Prinsip ini mengarah pada prinsip kedua bahwa pengajaran dengan sendirinya bisa efektif. Apa yang diperlukan adalah desain kreauf untuk tugas-tugas belajar yang secara normatif memberdayakan, bukan yang secara kausal melumpuhkan. Desain seperti ini dibutuhkan dalam memicu transformasi untuk proses belajar yang baru.22 Lalu muncullah pertanyaan penting, “Apakah menalar merupakan tindakan kepatuhan (act of obedience), ataukah kepatuhan merupakan tindakan menalar (act of reason).
Menyampaikan kebenaran kepada siswa yang memberi respon sesuai dengan (patuh kepada) apa yang diajarkan merupakan suatu hal yang sangat baik. Prestasi pun bisa diraih. Kepatuhan pada nalar adalah persoalan lain. Kepatuhan menuntut agen menguasai proses belajar dengan mengubah alasan demi memperoleh jawaban berdasarkan alasan yang baik, sekalipun mengarah pada ketidakpatuhan rasional terhadap apa yang diajarkan.


Sumber:



Joy A. Palmer (Ed.) (2006), Fifty Modern Thinkers on Education Terj. Farid Asifa. Yogyakarta: IRCiSoD.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar